JEJAK
(Risman laiya, Guru SMP Negeri 5 Gorontalo)
Mengapa harus aku? Pertanyaan itu tak pernah terjawab
hingga saat ini. Hingga jasadku yang kini terkoyak tak berbentuk. Berhamburan
kemana saja. Tak berbentuk lagi. Namun, setidaknya aku ini lebih baik.
Perjalananku yang panjang dan melelahkan ini akhirnya berakhir. Tak ada lagi
penambahan dosa pada diriku ini. Tak ada lagi keluh kesah. Tak ada lagi
keterpaksaan. Tak ada lagi.
Aku merasa hidupku tak akan lama.
Cahaya hidupku mulai redup. Suara-suara di sekitarku mulai samar-samar
terdengar. Tak jelas. Ya, seperti hidupku yang tak jelas selama ini. Sia-sia
dan kosong. Sekali lagi aku teringat perjalanan hidupku selama ini. Perjalanan
yang tak ada seorangpun yang ingin menjalaninya. Kecuali jika ia bukanlah
manusia yang tak memiliki perasaan.
Aku lahir di keluarga yang hidup
berkecukupan. Bolehlah jika dikatakan juga keluarga berada. Ibu dan ayah
memiliki pekerjaan tetap yang cukup menjanjikan. Buktinya kami bisa memiliki 2
mobil yang harganya setengah miliar. Adikku juga dibelikan sepeda motor yang
harganya bisa digunakan untuk sebuah kelas disekolah pedalaman. Hanya aku yang
tak ingin dibelikan apapun. Aku tak membutuhkan semua itu. Kebahagian keluarga
ini sudah cukup untukku. Meski aku tak bisa merasakan itu dalam waktu yang
lama. Aku sangat dekat dengan ayah. Sehari-hari aku selalu ikut dengannya.
Hampir semua yang ayah lakukan aku ketahui. Termasuk ketika ayah mulai
berpaling dari ibu. Aku tidak tahu kenapa ayah melakukan itu. Ia membagi
hidupnya dengan seseorang yang ia kenal secara tidak sengaja saat mengikuti
seminar. Menurutku masih menang ibu dari wanita itu. Ibu cantik dan memiliki
pekerjaan tetap.
Adik ku sepertinya telah mengetahui
apa yang terjadi antara ayah dan ibu. Mengingat saat ini ia sudah masuk SMA.
Setiap hari ia pulang malam. Ayah dan ibu tak pernah mempersoalkan hal itu. Mereka
seakan tidak mau tahu apa yang terjadi dengan anaknya. Ini yang membuatku
merasa kecewa juga dengan ibu. Mengikis pembelaanku terhadap ibu.
Aku tak tahu lagi keberadaan adikku
itu. Ketika ayah dan ibu membulatkan tekadnya untuk cerai, ia memilih hidup
sendiri. Tak memilih ayah ataupun ibu. Sedangkan aku sendiri ditinggalkan ayah
pada seorang temannya. Aku melihat ayah menerima 5 lembar uang seratusan dari
orang itu. Ia meninggalkanku begitu saja. Tak terlihat kesedihan diwajahnya.
Hanya pada wajahku kesedihan itu.
Bukan lagi kesedihan yang kini tumbuh subur.
Benih kekecewaan karena dicampakkan juga berkecambah. Menambah sesak. Namun,
aku merasakan ada yang aneh dengan diriku. Aku seperti tak merasakan apa-apa.
Meski kini aku harus hidup dengan seorang pria dewasa berusia setengah abad.
Tinggal disebuah kos yang berantakan. Belakangan aku baru tahun kalau pria ini
sehari-harinya hidup dengan angka-angka khayalan dan mimpi. Porkas.
Penghasilannya dari mengemudi bentor hamper ia habiskan di sana. Setiap hari ia
memaksa aku untuk mencari tahu angka-angka yang keluar. Terkadang jika ia tak
sempat lagi pergi ke rumah bandar, maka aku yang akan mengantarkannya.
Begitulah setiap hari. Beruntung aku tak bertahan lama hidup dengannya. Aku
meninggalkannya ketika ia singgah di sebuah SPBU yang ia lalui saat mengemudi
bentor. Aku pun tak mencoba memanggilnya ketika ia mau pergi. Lebih tepatnya
aku tak ingin.
Di SPBU itu aku bertemu dengan
seorang pria yang usianya tak terpaut jauh dengan yang baru saja meninggalkanku.
Setidaknya ia tak menjualku pada pria ini seperti yang ayah lakukan dulu. Om
Gondrong. Begitulah orang di SPBU itu memanggilnya. Mungkin karena perawakannya
yang berambut gondrong. Ia sangat gembira bertemu denganku. Ia seorang sopir
angkot trayek Isimu - Telaga. Ku lihat ia tersenyum tipis. Sesekali ia
menyanyikan potongan-potongan lagu yang tengah ia putar dimobilnya. Semoga saja
dengan pria ini aku bisa merasakan lagi kebahagiaan yang pernah ku rasakan
dulu. Itu doaku selama perjalanan.
“Bentor, Tapa!”
Suara setengah berteriak itu sontak
membuat aku terbangun. Ku lihat pria gondrong itu mengelusku. Ada senyum tipis
menghias wajahnya. Ia biarkan aku tetap berada dimobilnya. Aku tak diajak untuk
turun dari mobil. Hanya ia yang turun dan menemui seseorang yang sedang duduk
di bawah pohon. Seorang pria tambun. Entah apa yang mereka perbincangkan.
Terlihat sesekali pria itu menengok kearah mobil. Tak lama kemudian Aku dibawa
turun oleh Om Gondrong dan bertemu dengan pria yang ditemuinya tadi. Perasaanku
mulai tak enak. Sepertinya doaku diperjalanan belum dikabulkan. Pasrah. Hanya
itu yang bisa aku lakukan saat ini. Berteriak? Itu tidak mungkin. Aku tak bisa
melakukan itu. Ada alasan mendalam mengapa aku tak melakukan itu.
Kecurigaanku terbukti benar. Setelah
mengamati tubuhku dengan cermat, ia tampak sedang mempertimbangkan sesuatu.
Mungkin harga yang mesti ia bayar. Untuk menambah keyakinannya, sesekali dielus-elusnya
tubuhnya. Aku hanya bisa terpaku diam. Tak bisa apa-apa. Doaku masih tetap
sama. Semoga aku akan baik-baik saja.
Pria tambun itu merogoh kantungnya
dan mengeluarkan dompet. Diambilnya beberapa lembar uang seratusan. Sedikit
lebih banyak dari yang ayah terima dulu. Pria Gondrong yang kini juga masuk
dalam daftar hitamku itu tersenyum lebar menerima bayarannya. Aku jijik melihat
wajah itu. Tak tahu harus berapa lama seperti ini.
Bersama pria tambun ini, aku
menjalani hidup yang lebih naas dari yang pernah aku alami sebelumnya. Jika
dulu aku hanya disuruh untuk mengantarkan angka-angka, kini aku harus menjadi
perantaranya dengan wanita malam. Setiap kali ia ingin menggunakan jasa mereka,
ia selalu memanfaatkanku. Kini bukan hanya pria-pria yang telah menjualku yang
membuatku jijik. Kini aku jijik dengan diriku sendiri. Mengapa dari semua
mahluk di dunia harus aku yang seperti ini. Menjalani kehidupan yang tak
diinginkan oleh siapapun di dunia ini.
Aku baru saja membiasakan diriku
dengan kehidupan yang sekarang ketika kejadian yang sama terulang lagi. Ku
dapati diriku teronggok begitu saja dalam selokan. Tubuhku terasa sulit untuk
digerakan. Tubuhku sangat lemah. Mungkin karena selama ini aku tak lagi
memerhatikan apa yang aku makan. Bahkan aku sendiri tak lagi ingat kapan kali
terakhir aku tidur. Terlalu sibuk dengan hal yang aku sendiri tak tahu mengapa
aku harus melakukannya.
**
Cuaca hari ini tak terlalu panas.
Angin bertiup sepoi-sepoi memberi kesejukan pada mereka yang ia sapa. Termasuk
aku. Juga pria ini. Pria paruh baya yang sehari-hari berteman dengan sapu lidi.
Membersihkan dan merawat taman kota. Kami berteduh di bawah pohon beringin yang
usianya lebih tua dari pria yang duduk di sampingku. Ia memandangi anak-anak
sekolah yang mengenakan seragam putih biru bermain ayunan. Mereka tertawa lepas
ketika temannya ketakutan karena ayunan berayun terlalu tinggi. Aku mengalihkan
pandangku dari sana. Aku tak mampu lagi menahan parasaan yang mulai muncul
melihat pemandangan itu. Aku lebih memilih memerhatikan antrian orang yang
ingin memperpanjang SIM.
Sekarang kehidupanku agak lebih baik
dari sebelumnya. Sangat lebih baik. Tak ada pekerjaan berat yang harus aku
selesaikan. Aku hanya menemani pria ini. Ka yusu. Begitulah orang-orang
memanggilnya. Orang yang telah menyelamatkanku dari selokan setahun yang lalu.
Ia hanya hidup sebatang kara. Anak dan istrinya telah meninggal karena tertimpa
pohon saat menaiki bentor yang kendarainya. Keduanya meninggal dihadapannya.
Tak sanggup melupakan peristiwa itu akhirnya ia menjual bentornya dan ia memilih
menjadi tukang bersih di taman kota.
Ku lirik pria yang pendengarannya
sedikit terganggu itu tersenyum. Hal yang paling sulit ditemukan pada wajahnya
setelah kejadian memilukan itu. Bahagia. Aku berharap bisa menghabiskan usiaku
bersama pria yang tak pernah ku lihat merokok. Ia mengelus-elusku sambil
tersenyum. Aku membalas tersenyum. Ku ikuti padangan matanya. Rupanya ia masih
tetap memperhatikan anak-anak yang bermain ayunan tadi. Kini mereka sedang
mengerumuni tukang somay.
“Om awas!”
Teriakan itu sontak mengagetkan ku.
Secepat kilat aku menoleh ke arah kerumunan orang yang antri memperpanjang SIM.
Ku lihat mereka berteriak histeris sambil menunjuk-nujuk sesuatu di atas tepat
kami duduk. Aku baru mau menoleh memastikan apa yang mereka tunjuk ketika
sesuatu yang sangat besar jatuh di sampingku. Hampir saja mengenaiku. Orang-orang
berhamburan mendekati kami. Mereka berteriak histeris. Aku menyeka sesuatu yang
mengenai wajahku. Darah.
Ku lihat Ka Yunu di sampingku telah
tertidih oleh dahan pohon yang patah karena sudah lapuk. Senyum itu masih
menghias wajahnya. Orang-orang mulai membicarakan senyumnya. Tak lama ambulans
dan petugas kepolisian datang. Orang-orang mulai bertambah banyak.
Pria baik itu kini sudah pergi. Ia
mewariskan kesendiriannya padaku. Aku hanya bisa memandanginya dari jauh ketika
aku merasa ada seseorang yang menyeretku menjauh dari kerumunan. Aku berusaha
melawan namun kekuatan orang itu jauh lebih besar. Ia mengambil sepeda motornya
dan pergi dari sana. Siapa orang ini? Selama perjalanan aku hanya diam. Dia
juga diam.
Kecepatan kendaraannya bukannya
berkurang malah semakin bertambah. Perasaanku mulai tak enak. Belum lagi pria
ini tak mengenakan pelindung kepala. Telingaku pun tak kalah menderita. Knalpot
yang digunakannya sangat memekakan telinga. Beberapa orang yang dilewatinya
bahkan memaki karena terkejut dengan suara motornya. Ia tidak peduli dan masih
asyik menambah kecepatan sepeda motornya.
Saat melewati jalan dua susun, ia
ingin mendahului truk pengangkut BBM. Begitu mendapatnya kesempatan ia langsung
melesat. Ia tak menyangka di didepannya sedang ada operasi dari Satuan Polisi
Lalu lintas. Rupanya lampu rem truk menyala bukan karena memberinya peluang untuk
menyalip.
Ia pun dengan segera membanting
sepeda motornya ke samping kanan. Jika ia arahkan ke kiri maka akan berhadapan
dengan ban truk. Sepeda motornya menghantam Benton pembatas jalan. Rusak parah.
Pria itu tergeletak tak jauh dari sepeda motornya. Tak bergerak sama sekali.
Aku sendiri mencoba membuka mata.
Tak jelas apa yang aku lihat. Tubuhnya terasa aneh. Ada sesuatu yang tak biasa
telah terjadi padaku. Saat kecelakaan aku tak inga tapa-apa. Tiba-tiba saja aku
sudah ada disini. Sepertinya anggota tubuhku sudah tidak utuh lagi. Dan tanpa
sadar aku tersenyum.
Orang-orang mulai berkerumun. Ada
yang memperhatikan sepeda motor yang sudah hancur. Ada juga yang memberanikan
diri melihat wajah pengendaranya yang keadaannya tak jauh berbeda dengan
kendaraannya. Beruntung beberapa anggota polisi telah mengamankan lokasi.
Orang-orang tak bisa mendekat.
“Pak polisi! Ini ponselnya ada di
sini!”
Suara itu sudah tak jelas lagi
terdengar. Semuanya sudah berubah menjadi gelap.
***
0 comments:
Posting Komentar