Rabu, 03 November 2021

Jejak

 

JEJAK

(Risman laiya, Guru SMP Negeri 5 Gorontalo)

Mengapa harus aku? Pertanyaan itu tak pernah terjawab hingga saat ini. Hingga jasadku yang kini terkoyak tak berbentuk. Berhamburan kemana saja. Tak berbentuk lagi. Namun, setidaknya aku ini lebih baik. Perjalananku yang panjang dan melelahkan ini akhirnya berakhir. Tak ada lagi penambahan dosa pada diriku ini. Tak ada lagi keluh kesah. Tak ada lagi keterpaksaan. Tak ada lagi.

            Aku merasa hidupku tak akan lama. Cahaya hidupku mulai redup. Suara-suara di sekitarku mulai samar-samar terdengar. Tak jelas. Ya, seperti hidupku yang tak jelas selama ini. Sia-sia dan kosong. Sekali lagi aku teringat perjalanan hidupku selama ini. Perjalanan yang tak ada seorangpun yang ingin menjalaninya. Kecuali jika ia bukanlah manusia yang tak memiliki perasaan.

            Aku lahir di keluarga yang hidup berkecukupan. Bolehlah jika dikatakan juga keluarga berada. Ibu dan ayah memiliki pekerjaan tetap yang cukup menjanjikan. Buktinya kami bisa memiliki 2 mobil yang harganya setengah miliar. Adikku juga dibelikan sepeda motor yang harganya bisa digunakan untuk sebuah kelas disekolah pedalaman. Hanya aku yang tak ingin dibelikan apapun. Aku tak membutuhkan semua itu. Kebahagian keluarga ini sudah cukup untukku. Meski aku tak bisa merasakan itu dalam waktu yang lama. Aku sangat dekat dengan ayah. Sehari-hari aku selalu ikut dengannya. Hampir semua yang ayah lakukan aku ketahui. Termasuk ketika ayah mulai berpaling dari ibu. Aku tidak tahu kenapa ayah melakukan itu. Ia membagi hidupnya dengan seseorang yang ia kenal secara tidak sengaja saat mengikuti seminar. Menurutku masih menang ibu dari wanita itu. Ibu cantik dan memiliki pekerjaan tetap.

            Adik ku sepertinya telah mengetahui apa yang terjadi antara ayah dan ibu. Mengingat saat ini ia sudah masuk SMA. Setiap hari ia pulang malam. Ayah dan ibu tak pernah mempersoalkan hal itu. Mereka seakan tidak mau tahu apa yang terjadi dengan anaknya. Ini yang membuatku merasa kecewa juga dengan ibu. Mengikis pembelaanku terhadap ibu.

            Aku tak tahu lagi keberadaan adikku itu. Ketika ayah dan ibu membulatkan tekadnya untuk cerai, ia memilih hidup sendiri. Tak memilih ayah ataupun ibu. Sedangkan aku sendiri ditinggalkan ayah pada seorang temannya. Aku melihat ayah menerima 5 lembar uang seratusan dari orang itu. Ia meninggalkanku begitu saja. Tak terlihat kesedihan diwajahnya. Hanya pada wajahku kesedihan itu.

             Bukan lagi kesedihan yang kini tumbuh subur. Benih kekecewaan karena dicampakkan juga berkecambah. Menambah sesak. Namun, aku merasakan ada yang aneh dengan diriku. Aku seperti tak merasakan apa-apa. Meski kini aku harus hidup dengan seorang pria dewasa berusia setengah abad. Tinggal disebuah kos yang berantakan. Belakangan aku baru tahun kalau pria ini sehari-harinya hidup dengan angka-angka khayalan dan mimpi. Porkas. Penghasilannya dari mengemudi bentor hamper ia habiskan di sana. Setiap hari ia memaksa aku untuk mencari tahu angka-angka yang keluar. Terkadang jika ia tak sempat lagi pergi ke rumah bandar, maka aku yang akan mengantarkannya. Begitulah setiap hari. Beruntung aku tak bertahan lama hidup dengannya. Aku meninggalkannya ketika ia singgah di sebuah SPBU yang ia lalui saat mengemudi bentor. Aku pun tak mencoba memanggilnya ketika ia mau pergi. Lebih tepatnya aku tak ingin.

            Di SPBU itu aku bertemu dengan seorang pria yang usianya tak terpaut jauh dengan yang baru saja meninggalkanku. Setidaknya ia tak menjualku pada pria ini seperti yang ayah lakukan dulu. Om Gondrong. Begitulah orang di SPBU itu memanggilnya. Mungkin karena perawakannya yang berambut gondrong. Ia sangat gembira bertemu denganku. Ia seorang sopir angkot trayek Isimu - Telaga. Ku lihat ia tersenyum tipis. Sesekali ia menyanyikan potongan-potongan lagu yang tengah ia putar dimobilnya. Semoga saja dengan pria ini aku bisa merasakan lagi kebahagiaan yang pernah ku rasakan dulu. Itu doaku selama perjalanan.

            “Bentor, Tapa!”

            Suara setengah berteriak itu sontak membuat aku terbangun. Ku lihat pria gondrong itu mengelusku. Ada senyum tipis menghias wajahnya. Ia biarkan aku tetap berada dimobilnya. Aku tak diajak untuk turun dari mobil. Hanya ia yang turun dan menemui seseorang yang sedang duduk di bawah pohon. Seorang pria tambun. Entah apa yang mereka perbincangkan. Terlihat sesekali pria itu menengok kearah mobil. Tak lama kemudian Aku dibawa turun oleh Om Gondrong dan bertemu dengan pria yang ditemuinya tadi. Perasaanku mulai tak enak. Sepertinya doaku diperjalanan belum dikabulkan. Pasrah. Hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini. Berteriak? Itu tidak mungkin. Aku tak bisa melakukan itu. Ada alasan mendalam mengapa aku tak melakukan itu.

            Kecurigaanku terbukti benar. Setelah mengamati tubuhku dengan cermat, ia tampak sedang mempertimbangkan sesuatu. Mungkin harga yang mesti ia bayar. Untuk menambah keyakinannya, sesekali dielus-elusnya tubuhnya. Aku hanya bisa terpaku diam. Tak bisa apa-apa. Doaku masih tetap sama. Semoga aku akan baik-baik saja.

            Pria tambun itu merogoh kantungnya dan mengeluarkan dompet. Diambilnya beberapa lembar uang seratusan. Sedikit lebih banyak dari yang ayah terima dulu. Pria Gondrong yang kini juga masuk dalam daftar hitamku itu tersenyum lebar menerima bayarannya. Aku jijik melihat wajah itu. Tak tahu harus berapa lama seperti ini.

            Bersama pria tambun ini, aku menjalani hidup yang lebih naas dari yang pernah aku alami sebelumnya. Jika dulu aku hanya disuruh untuk mengantarkan angka-angka, kini aku harus menjadi perantaranya dengan wanita malam. Setiap kali ia ingin menggunakan jasa mereka, ia selalu memanfaatkanku. Kini bukan hanya pria-pria yang telah menjualku yang membuatku jijik. Kini aku jijik dengan diriku sendiri. Mengapa dari semua mahluk di dunia harus aku yang seperti ini. Menjalani kehidupan yang tak diinginkan oleh siapapun di dunia ini.

            Aku baru saja membiasakan diriku dengan kehidupan yang sekarang ketika kejadian yang sama terulang lagi. Ku dapati diriku teronggok begitu saja dalam selokan. Tubuhku terasa sulit untuk digerakan. Tubuhku sangat lemah. Mungkin karena selama ini aku tak lagi memerhatikan apa yang aku makan. Bahkan aku sendiri tak lagi ingat kapan kali terakhir aku tidur. Terlalu sibuk dengan hal yang aku sendiri tak tahu mengapa aku harus melakukannya.

**

            Cuaca hari ini tak terlalu panas. Angin bertiup sepoi-sepoi memberi kesejukan pada mereka yang ia sapa. Termasuk aku. Juga pria ini. Pria paruh baya yang sehari-hari berteman dengan sapu lidi. Membersihkan dan merawat taman kota. Kami berteduh di bawah pohon beringin yang usianya lebih tua dari pria yang duduk di sampingku. Ia memandangi anak-anak sekolah yang mengenakan seragam putih biru bermain ayunan. Mereka tertawa lepas ketika temannya ketakutan karena ayunan berayun terlalu tinggi. Aku mengalihkan pandangku dari sana. Aku tak mampu lagi menahan parasaan yang mulai muncul melihat pemandangan itu. Aku lebih memilih memerhatikan antrian orang yang ingin memperpanjang SIM.

            Sekarang kehidupanku agak lebih baik dari sebelumnya. Sangat lebih baik. Tak ada pekerjaan berat yang harus aku selesaikan. Aku hanya menemani pria ini. Ka yusu. Begitulah orang-orang memanggilnya. Orang yang telah menyelamatkanku dari selokan setahun yang lalu. Ia hanya hidup sebatang kara. Anak dan istrinya telah meninggal karena tertimpa pohon saat menaiki bentor yang kendarainya. Keduanya meninggal dihadapannya. Tak sanggup melupakan peristiwa itu akhirnya ia menjual bentornya dan ia memilih menjadi tukang bersih di taman kota.

            Ku lirik pria yang pendengarannya sedikit terganggu itu tersenyum. Hal yang paling sulit ditemukan pada wajahnya setelah kejadian memilukan itu. Bahagia. Aku berharap bisa menghabiskan usiaku bersama pria yang tak pernah ku lihat merokok. Ia mengelus-elusku sambil tersenyum. Aku membalas tersenyum. Ku ikuti padangan matanya. Rupanya ia masih tetap memperhatikan anak-anak yang bermain ayunan tadi. Kini mereka sedang mengerumuni tukang somay.

            “Om awas!”

            Teriakan itu sontak mengagetkan ku. Secepat kilat aku menoleh ke arah kerumunan orang yang antri memperpanjang SIM. Ku lihat mereka berteriak histeris sambil menunjuk-nujuk sesuatu di atas tepat kami duduk. Aku baru mau menoleh memastikan apa yang mereka tunjuk ketika sesuatu yang sangat besar jatuh di sampingku. Hampir saja mengenaiku. Orang-orang berhamburan mendekati kami. Mereka berteriak histeris. Aku menyeka sesuatu yang mengenai wajahku. Darah.

            Ku lihat Ka Yunu di sampingku telah tertidih oleh dahan pohon yang patah karena sudah lapuk. Senyum itu masih menghias wajahnya. Orang-orang mulai membicarakan senyumnya. Tak lama ambulans dan petugas kepolisian datang. Orang-orang mulai bertambah banyak.

            Pria baik itu kini sudah pergi. Ia mewariskan kesendiriannya padaku. Aku hanya bisa memandanginya dari jauh ketika aku merasa ada seseorang yang menyeretku menjauh dari kerumunan. Aku berusaha melawan namun kekuatan orang itu jauh lebih besar. Ia mengambil sepeda motornya dan pergi dari sana. Siapa orang ini? Selama perjalanan aku hanya diam. Dia juga diam.

            Kecepatan kendaraannya bukannya berkurang malah semakin bertambah. Perasaanku mulai tak enak. Belum lagi pria ini tak mengenakan pelindung kepala. Telingaku pun tak kalah menderita. Knalpot yang digunakannya sangat memekakan telinga. Beberapa orang yang dilewatinya bahkan memaki karena terkejut dengan suara motornya. Ia tidak peduli dan masih asyik menambah kecepatan sepeda motornya.

            Saat melewati jalan dua susun, ia ingin mendahului truk pengangkut BBM. Begitu mendapatnya kesempatan ia langsung melesat. Ia tak menyangka di didepannya sedang ada operasi dari Satuan Polisi Lalu lintas. Rupanya lampu rem truk menyala bukan karena memberinya peluang untuk menyalip.

            Ia pun dengan segera membanting sepeda motornya ke samping kanan. Jika ia arahkan ke kiri maka akan berhadapan dengan ban truk. Sepeda motornya menghantam Benton pembatas jalan. Rusak parah. Pria itu tergeletak tak jauh dari sepeda motornya. Tak bergerak sama sekali.

            Aku sendiri mencoba membuka mata. Tak jelas apa yang aku lihat. Tubuhnya terasa aneh. Ada sesuatu yang tak biasa telah terjadi padaku. Saat kecelakaan aku tak inga tapa-apa. Tiba-tiba saja aku sudah ada disini. Sepertinya anggota tubuhku sudah tidak utuh lagi. Dan tanpa sadar aku tersenyum.

            Orang-orang mulai berkerumun. Ada yang memperhatikan sepeda motor yang sudah hancur. Ada juga yang memberanikan diri melihat wajah pengendaranya yang keadaannya tak jauh berbeda dengan kendaraannya. Beruntung beberapa anggota polisi telah mengamankan lokasi. Orang-orang tak bisa mendekat.

            “Pak polisi! Ini ponselnya ada di sini!”

            Suara itu sudah tak jelas lagi terdengar. Semuanya sudah berubah menjadi gelap.

***

0 comments:

Posting Komentar