Selasa, 02 November 2021

Bukan Malaikat

Masih kosong. Tak ada satu pun angkot yang sedang mangkal. Tak ada keriuhan sopir dan calo memanggil-manggil calon penumpang. Dan ini berarti aku harus menunggu lebih lama lagi. Keluhku begitu saja tumpah ketika tiba di tempat biasa menunggu angkot untuk pulang.

            “Makasih om”, ucapku setelah membayar sewa bentor dari tempatku bekerja.

          Ku edarkan pandangan sejenak mencari tempat berteduh sembari menunggu angkot. Di tempatku biasa menunggu sudah ada om-om bentor yang mangkal di sana. Pandanganku berhenti di bekas pos jaga petugas LLAJ seberang jalan. Di situ kayaknya lebih nyaman. Tanpa menunggu lama aku segera menuju ke sana. Tak jauh. Hanya sekitar 15 meter dari tempatku berdiri.

            Baru saja ku letakan tas jinjing, angkot langganan ku sudah tiba. Om Asri. Begitulah, kami para penumpang biasa memanggilnya. Kulirik tampilan ponsel. Pukul 14.30. Berarti satu setengah jam lagi aku bisa tiba di rumah.

            “Melelahkan”

       Dengan hembusan napas panjang ku melangkah menuju angkot Om Asri diparkir. Aku harus menyeberangi jalan lagi untuk bisa sampai ke sana.

      “So lama ba tunggu Ibu?”, tanya Om Asri sambil turun dari mobil. Ia kemudian berdiri dan bersandar pada pintu mobilnya.

          “Belum. Baru sampe. Untung saja tadi ada bentor yang lewat depan sekolah. Jadi, capat sampe di sini”, jawabku sambil memperbaiki tempat duduk.

            “Sampe sini bo bulum ada oto”

         Om Asri tak menyahut. Ia hanya tersenyum sambal mengotak-atik ponsel jadulnya. Berharap akan ada SMS atau telepon dari penumpang yang minta untuk ditunggu. Seperti yang aku lakukan saat akan berangkat pagi hari agar tidak ketinggalan. Kalau ketinggalan berarti aku terlambat tiba di sekolah.

      Di siang yang panas seperti ini dan baru aku sendiri penumpangnya, itu luar biasa. Aku harus menunggu lama dan itu artinya waktu tiba di rumah nanti juga semakin lama. Sungguh sangat melelahkan. Sudah sekitar 10 menit berlalu tapi belum ada tanda-tanda angkot akan berangkat. Baru ada ketambahan dua penumpang. Om Asri masih dengan penuh semangat memanggil-manggil penumpang. Peluhnya juga tak mau mengalah. Perjuangannya masih sia-sia.

      Sudah hampir setahun aku menjalani rutinitas seperti ini. April tahun lalu aku menerima SK perintah tugas ke sini. Lumayan jauh dari rumah. Hampir separuh dari penghasilan bulanan habis hanya untuk membayar ongkos angkot. Belum lagi ditambah dengan dengan situasi seperti ini. Harus menunggu dalam angkot dengan cuaca yang panas. Menunggu kepastian kapan bisa segera berangkat. Setiap hari seperti ini.

         Seandainya tempat tugas ku dekat rumah mungkin ceritanya akan berbeda. Aku bisa menghemat ongkos angkot. Mungkin bisa untuk beli susu anakku. Aku pun bisa punya banyak waktu mengurus keluarga kecilku. Tak harus menghabiskan banyak waktu di jalan seperti ini. Sudah mencoba untuk mengajukan pindah namun gagal. Katanya harus lima tahun dinas baru bisa mengajukan mutasi.

         “Omoluwa mena’o uti buayi?”, ujar penumpang yang duduk dibelakangku. Seorang wanita paruh baya. Dia terlihat sedikit gelisah. Sepertinya ia terburu-buru.

            Aku menoleh sejenak dan tersenyum tipis.

       “Didu otahangia boti patu lo dulahu”,ujarnya lagi. Kali ini aku tak menoleh. Ku biarkan saja ia dengan keluhannya.

          Ku menoleh ke arah om Asri. Pria paruh baya itu masih tetap di tempatnya. Berbincang dengan om bentor yang sedang mangkal.

        Sudah hampir setengah jam. Sudah ada 6 penumpang yang ada. Om Asri sudah bersiap akan berangkat.

            “Akhirnya berangkat juga”, gumamku.

        Angkot sudah bergerak perlahan. Mungkin kecepatannya 40 km/jam. Aku tahu Om Asri masih harus menambah penumpangnya sehingga kecepatannya hanya seperti itu. Ada satu penumpang lagi yang naik ketika sudah memasuki perbatasan Batuda’a. Kali ini kecepatan angkot langgananku ini mulai bertambah. Mungkin karena penumpangnya sudah tujuh orang. Sudah hampir penuh.

Mendekati SPN Batuda’a mobil sedikit melambat. Mungkin akan ada penumpang yang naik atau turun. Tepat depan Puskesmas Batuda’a tak jauh dari perempatan SPN mobil berhenti. Benar saja. Di luar sudah ada dua penumpang dengan dinas putih yang bersiap naik. Satu orang duduk di sampingku. Satu lagi ke bangku belakang. Mobil belum bergerak padahal dua penumpang tadi sudah masuk. Sambil memperbaiki posisi duduk, ku menoleh ke seberang jalan. Di sana kulihat ada seorang pria yang dengan hati-hati akan menyeberang jalan. Sepertinya juga mau naik.

Pria itu sepertinya berusia lima puluh tahun ke atas. Memakai celana pendek dan kaos oblong hijau yang sudah kusam. Tubuhnya sedikit kurus. Ia membawa sapu lidi juga serok. Sepertinya ia tukang bersih di Puskesmas.

Pria paruh baya itu hanya duduk di lantai mobil dekat pintu. Menghadap keluar. Mungkin dilihatnya di dalam sudah penuh. Lagi pula ia membawa sapu lidi dengan gagangnya yang agak panjang. Pikirnya akan mengganggu penumpang lainnya. Tanpa ku sadari mobil sudah bergerak dengan kecepatan maksimal. Aku masih asyik memperhatikan pria dengan sapu lidi itu.

Kulitnya sudah keriput sering terpapar sinar matahari. Dipikiranku timbul beberapa pertanyaan. Mengapa diusia seperti itu ia masih bekerja? Apakah ia hidup sebatang kara? Tak ada keluarga lain yang bisa membiayai hidupnya? Harusnya usia seperti itu ia berdiam saja di rumah. Menikmati usia senjanya. Semuanya masih berputar-putar di pikiranku. Hingga aku dikagetkan dengan mobil yang berhenti. Sudah memasuki Kelurahan Dembe. Penumpang yang duduk di sampingku akan turun. Ia pamit pada temannya yang duduk dibangku belakang.

Mobil kembali bergerak. Sedikit lagi akan tiba di terminal 10 November Kota Gorontalo. Aku sudah mengirimkan pesan singkat pada suamiku. Memberitahukan kalau aku sedikit lagi sampai. Ia akan menunggu di sana. Tempat kerjanya hanya berdekatan dengan terminal.

Memasuki kelurahan Lekobalo, mobil mulai bergerak lambat. Mobil sedikit berguncang. Jalan di kelurahan ini sedikit rusak. Banyak jalan yang berlubang. Belum lagi ruas jalannya yang sempit. Rumah penduduk yang hanya berjarak setengah meter dari jalan aspal. Sopir harus berhati-hati melalui jalan ini. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Sambil memperbaiki posisi duduk, aku membuka tas jinjing. Dari dalam dompet doraemon, ku ambil uang dua lembar sepuluh ribuan. Sepuluh ribu untuk membayar sewa angkotku. Sepuluh ribu lagi rencananya untuk membayar pria paruh paya yang duduk di pintu angkot itu. Sekadar meringankan. Mau diberikan langsung aku tak enak. Nanti pria ini tersinggung. Jadi, kesempatan yang aku rasa pas adalah nanti kalau sudah tiba baru aku akan membayarnya.

Ku lihat pria paruh baya itu merogoh kantung bajunya. Agak kesusahan ia melakukannya. Ia memegang sapu lidi dan berusaha untuk tidak jatuh. Ia mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu. Dengan cepat dilipatnya dan disimpan dalam genggamannya. Mungkin sedikit lagi pria paruh baya itu akan turun. Aku mencari cara agar bisa mencegahnya membayar sewa angkot. Om Asri sedikit memelankan laju mobilnya karena di depan ada masjid yang sedang direnovasi. Separuh ruas jalan dipakai untuk menumpuk material pasir dan kerikil. Terlihat ada warga yang mengatur kendaraan yang lewat agar tidak macet. Mereka memegang dus mengumpulkan sumbangan dari kendaraan yang lewat. Pria kurus yang duduk di dekat pintu angkot itu menggerakkan tangannya. Meletakkan uang yang ia ambil dari kantung baju ke dalam dus sumbangan itu.

Aku hanya terdiam.

***

(Risman laiya, SMP Negeri 5 Gorontalo)

0 comments:

Posting Komentar