Masih kosong. Tak ada satu pun angkot yang sedang mangkal.
Tak ada keriuhan sopir dan calo memanggil-manggil calon penumpang. Dan ini berarti
aku harus menunggu lebih lama lagi. Keluhku begitu saja tumpah ketika tiba di
tempat biasa menunggu angkot untuk pulang.
“Makasih om”, ucapku setelah
membayar sewa bentor dari tempatku bekerja.
Ku edarkan pandangan sejenak mencari
tempat berteduh sembari menunggu angkot. Di tempatku biasa menunggu sudah ada om-om
bentor yang mangkal di sana. Pandanganku berhenti di bekas pos jaga petugas
LLAJ seberang jalan. Di situ kayaknya lebih nyaman. Tanpa menunggu lama aku
segera menuju ke sana. Tak jauh. Hanya sekitar 15 meter dari tempatku berdiri.
Baru saja ku letakan tas jinjing,
angkot langganan ku sudah tiba. Om Asri. Begitulah, kami para penumpang biasa
memanggilnya. Kulirik tampilan ponsel. Pukul 14.30. Berarti satu setengah jam
lagi aku bisa tiba di rumah.
“Melelahkan”
Dengan hembusan napas panjang ku melangkah menuju angkot Om Asri diparkir. Aku harus menyeberangi jalan lagi untuk bisa sampai ke sana.
“So lama ba tunggu Ibu?”, tanya Om
Asri sambil turun dari mobil. Ia kemudian berdiri dan bersandar pada pintu
mobilnya.
“Belum. Baru sampe. Untung saja tadi
ada bentor yang lewat depan sekolah. Jadi, capat sampe di sini”, jawabku sambil
memperbaiki tempat duduk.
“Sampe sini bo bulum ada oto”
Om Asri tak menyahut. Ia hanya
tersenyum sambal mengotak-atik ponsel jadulnya. Berharap akan ada SMS atau
telepon dari penumpang yang minta untuk ditunggu. Seperti yang aku lakukan saat
akan berangkat pagi hari agar tidak ketinggalan. Kalau ketinggalan berarti aku
terlambat tiba di sekolah.
Di siang yang panas seperti ini dan
baru aku sendiri penumpangnya, itu luar biasa. Aku harus menunggu lama dan itu
artinya waktu tiba di rumah nanti juga semakin lama. Sungguh sangat melelahkan.
Sudah sekitar 10 menit berlalu tapi belum ada tanda-tanda angkot akan
berangkat. Baru ada ketambahan dua penumpang. Om Asri masih dengan penuh semangat
memanggil-manggil penumpang. Peluhnya juga tak mau mengalah. Perjuangannya
masih sia-sia.
Sudah hampir setahun aku menjalani
rutinitas seperti ini. April tahun lalu aku menerima SK perintah tugas ke sini.
Lumayan jauh dari rumah. Hampir separuh dari penghasilan bulanan habis hanya
untuk membayar ongkos angkot. Belum lagi ditambah dengan dengan situasi seperti
ini. Harus menunggu dalam angkot dengan cuaca yang panas. Menunggu kepastian
kapan bisa segera berangkat. Setiap hari seperti ini.
Seandainya tempat tugas ku dekat
rumah mungkin ceritanya akan berbeda. Aku bisa menghemat ongkos angkot. Mungkin
bisa untuk beli susu anakku. Aku pun bisa punya banyak waktu mengurus keluarga
kecilku. Tak harus menghabiskan banyak waktu di jalan seperti ini. Sudah mencoba
untuk mengajukan pindah namun gagal. Katanya harus lima tahun
dinas baru bisa mengajukan mutasi.
“Omoluwa mena’o uti buayi?”, ujar
penumpang yang duduk dibelakangku. Seorang wanita paruh baya. Dia terlihat
sedikit gelisah. Sepertinya ia terburu-buru.
Aku menoleh sejenak dan tersenyum
tipis.
“Didu otahangia boti patu lo dulahu”,ujarnya
lagi. Kali ini aku tak menoleh. Ku biarkan saja ia dengan keluhannya.
Ku menoleh ke arah om Asri. Pria
paruh baya itu masih tetap di tempatnya. Berbincang dengan om bentor yang
sedang mangkal.
Sudah hampir setengah jam. Sudah ada
6 penumpang yang ada. Om Asri sudah bersiap akan berangkat.
“Akhirnya berangkat juga”, gumamku.
Angkot sudah bergerak perlahan.
Mungkin kecepatannya 40 km/jam. Aku tahu Om Asri masih harus menambah
penumpangnya sehingga kecepatannya hanya seperti itu. Ada satu penumpang lagi
yang naik ketika sudah memasuki perbatasan Batuda’a. Kali ini kecepatan angkot
langgananku ini mulai bertambah. Mungkin karena penumpangnya sudah tujuh orang.
Sudah hampir penuh.
Mendekati SPN Batuda’a mobil sedikit melambat. Mungkin
akan ada penumpang yang naik atau turun. Tepat depan Puskesmas Batuda’a tak
jauh dari perempatan SPN mobil berhenti. Benar saja. Di luar sudah ada dua
penumpang dengan dinas putih yang bersiap naik. Satu orang duduk di sampingku.
Satu lagi ke bangku belakang. Mobil belum bergerak padahal dua penumpang tadi
sudah masuk. Sambil memperbaiki posisi duduk, ku menoleh ke seberang jalan. Di
sana kulihat ada seorang pria yang dengan hati-hati akan menyeberang jalan.
Sepertinya juga mau naik.
Pria itu sepertinya berusia lima puluh tahun ke atas. Memakai
celana pendek dan kaos oblong hijau yang sudah
kusam. Tubuhnya sedikit kurus. Ia membawa sapu lidi juga serok. Sepertinya ia
tukang bersih di Puskesmas.
Pria paruh baya itu hanya duduk di lantai mobil dekat
pintu. Menghadap keluar. Mungkin dilihatnya di dalam sudah penuh. Lagi pula ia
membawa sapu lidi dengan gagangnya yang agak panjang. Pikirnya akan mengganggu
penumpang lainnya. Tanpa ku sadari mobil sudah bergerak dengan kecepatan
maksimal. Aku masih asyik memperhatikan pria dengan sapu lidi itu.
Kulitnya sudah keriput sering terpapar sinar matahari.
Dipikiranku timbul beberapa pertanyaan. Mengapa diusia seperti itu ia masih
bekerja? Apakah ia hidup sebatang kara? Tak ada keluarga lain yang bisa
membiayai hidupnya? Harusnya usia seperti itu ia berdiam saja di rumah.
Menikmati usia senjanya. Semuanya masih berputar-putar di pikiranku. Hingga aku
dikagetkan dengan mobil yang berhenti. Sudah memasuki Kelurahan Dembe.
Penumpang yang duduk di sampingku akan turun. Ia pamit pada temannya yang duduk
dibangku belakang.
Mobil kembali bergerak. Sedikit lagi akan tiba di
terminal 10 November Kota Gorontalo. Aku sudah mengirimkan pesan singkat pada
suamiku. Memberitahukan kalau aku sedikit lagi sampai. Ia akan menunggu di
sana. Tempat kerjanya hanya berdekatan dengan terminal.
Memasuki kelurahan Lekobalo, mobil mulai bergerak
lambat. Mobil sedikit berguncang. Jalan di kelurahan ini sedikit rusak. Banyak
jalan yang berlubang. Belum lagi ruas jalannya yang sempit. Rumah penduduk yang
hanya berjarak setengah meter dari jalan aspal. Sopir harus berhati-hati
melalui jalan ini. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Sambil memperbaiki posisi duduk, aku membuka tas
jinjing. Dari dalam dompet doraemon, ku ambil uang dua lembar sepuluh ribuan.
Sepuluh ribu untuk membayar sewa angkotku. Sepuluh ribu lagi rencananya untuk
membayar pria paruh paya yang duduk di pintu angkot itu. Sekadar meringankan. Mau
diberikan langsung aku tak enak. Nanti pria ini tersinggung. Jadi, kesempatan
yang aku rasa pas adalah nanti kalau sudah tiba baru aku akan membayarnya.
Ku lihat pria paruh baya itu merogoh kantung bajunya. Agak
kesusahan ia melakukannya. Ia memegang sapu lidi dan berusaha untuk tidak
jatuh. Ia mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu. Dengan cepat dilipatnya dan
disimpan dalam genggamannya. Mungkin sedikit lagi pria paruh baya itu akan
turun. Aku mencari cara agar bisa mencegahnya membayar sewa angkot. Om Asri
sedikit memelankan laju mobilnya karena di depan ada masjid yang sedang
direnovasi. Separuh ruas jalan dipakai untuk menumpuk material pasir dan
kerikil. Terlihat ada warga yang mengatur kendaraan yang lewat agar tidak
macet. Mereka memegang dus mengumpulkan sumbangan dari kendaraan yang lewat.
Pria kurus yang duduk di dekat pintu angkot itu menggerakkan tangannya.
Meletakkan uang yang ia ambil dari kantung baju ke dalam dus sumbangan itu.
Aku hanya terdiam.
***
(Risman laiya, SMP Negeri 5 Gorontalo)
0 comments:
Posting Komentar