Rabu, 28 Mei 2025

Cerita Pendek | PEREMPUAN

 

PEREMPUAN

(Alyn Zein Daud, Siswa SMP Negeri 5 Gorontalo)

Terdengar suara seseorang yang membuka jendela kamar. Cahaya matahari langsung menyinari matanya. Seorang anak bernama Rehan dibangunkan oleh ibunya. Menyuruhnya untuk mandi dan sarapan bersama. Rehan pun mengikuti apa yang ibunya suruh padanya.

Di meja terlihat ayahnya yang sudah menyantap makanan labih dulu. Rehan tidak terlalu mempermasalahkannya. Rehan pun juga segera makan tanpa berkata apapun kepada kedua orang tuanya. Tidak ada satupun dari mereka mengeluarkan kata-kata.

Selesai makan, mereka pergi berangkat bersama-sama. Mereka menuju jalan yang berbeda. Ibunya pergi ke kantor polisi, ayahnya pergi ke kantor, dan Rehan pergi ke sekolah. Ibu dan ayahnya sama-sama pergi bekerja. Jadi Rehan pulang dari sekolah, kedua orang tuanya tidak berada di rumah. Rehan juga adalah murid pendiam di kelasnya. Ia juga tidak punya banyak teman untuk diajak bercerita.

Suatu hari, terjadi permasalahan antara kedua orang tuanya. Rehan melihat ayahnya melakukan kekerasan kepada ibunya. Ibunya hanya terdiam dan menangis. Rehan tidak tau masalah apa yang sedang terjadi. Ia ingin melindungi ibunya. Tapi ternyata ibu dan ayahnya mengetahui bahwa sedari tadi ia melihat kekerasan itu.

“ini tidak seperti yang kamu lihat, nak. Ibu tadi tidak sengaja menjatuhkan gelas. Karena ayah melihat ibu begitu ceroboh, ayah langsung memperingati ibu agar tidak melakukan itu lagi”

“Lalu, mengapa ibu menangis?”

“Oh itu, tadi bu membaca buku tentang kisah yang sangat menyedihkan, jadi ibu menangis. Kamu tidur saja dulu, kan besok sekolah.”

“Iya, bu”

            Rehan masuk ke kamarnya. Ia masih tidak yakin kalau yang dibilang ibunya itu benar. Di usianya yang masih 6 tahun seperti ini mungkin masih belum  bisa mengerti hal-hal seperti itu.

            Ditengah ia memikirkan hal itu, ibunya masuk ke kamarnya dan berusaha untuk membuat Rehan agar tidak terlalu memikirkannya.

“kenapa kamu belum tidur, kan tadi ibu sudah bilang jangan terlalu memikirkannya, ibu dangan ayah masih sama kayak dulu tidak ada yang berubah. Sudahlah, ibu akan menyanyikan lagu untukmu, tapi kamu nanti kamu tidur ya”

“Tapi, bu?”

“sudah!”

“Iya, bu”

Rehan takut ibunya   marah padanya, jadi ia langsung mengiyakan perkataan ibunya.

Hari demi hari berlalu, kekersan sering terjadi hingga menjadi perceraian. Ibunya meninggalkannya bersama ayahnya. Ibunya tidak bisa berbuat apa-apa karena ayahnya menyuruh ibunya untuk meninggalkan putra mereka itu. ibunya tidak berpikir negative karena ayahnya tidak pernah memukulinya. Ibunya pun pergi tanpa berkata satu katapun kepada Rehan. Dalam hati Rehan ada rasa sedih dan marah kepadanya ibunya. Ia berpikir ibunya sengaja meninggalkannya bersama ayahnya.

Kedinginan malam kini menyelimuti Rehan. Kehangatan yang selalu ia rasakan kini telah meninggalkannya. Kebencian terhadap ibunya pun mulai menguasai hatinya. Ayahnya sudah mulai memanas-manaskannya. Tapi dalam hati kecilnya, ia masih menginginkan keajaiban  yang terjadi  untuk mempertemukannya. Hati kecilnya itulah yang membuatnya mencari tau kenapa ibunya meninggalkannya.

Rehan pergi ke rumah kakeknya

“Assalamualaikum, kek”

“Wa’alaikum salam, eh Rehan, ayo masuk nak”

“Iya, kek”

Kakeknya memberi secangkir the panas kepadanya.

“kamu kenapa mala-malam begini datang ke rumah kake. Ayah kamu tau, kalau kamu kemari?”

“Tidak,kek. Ayahku tidak tau aku kemari”

“Lalu kenapa kamu kemari?”

“Aku mau tanya tetang ibu, kek”

“Ooh ibu kamu pergi bekerja ke luar daerah”

“Lalu, kapan ibu pulang yah, kek?”

“Mungkin sebulan lagi ibu kamu pulang”

Ditengah itu, terdengar seseorang mengetuk pintu dengan keras. Setelah dibukakan pintu, ternyata itu adalah ayah Rehan. Ayahnya langsung menarik tangan Rehan.

“Kamu tidak bisa berbuat seperti itu kepada anakmu. Kasihan dia.”

“Ini bukan urusan ayah! Sekarang ayah sudah tidak punya hubungan lagi dengan anakku!”

“Ayah, Rehan masih mau di rumah kakek”

“Sudah, ayo pulang!!”

Sesampainya di rumah, Rehan dimarahi ayahnya. Ayahnya mencoba meyakinkannya kalau kakeknya itu sama dengan ibunya. Rehan mencoba untuk meyakini hatinya agar tidak terpengaruh lagi dengan perkataan ayahnya.

Dan sejak hari itu, setiap ayahnya membawa ia pulang dari sekolah, ayahnya selalu mengunci pintu rumahnya. Lalu, ketika Rehan harus kesekolah barulah pintunya dibuka. Dan begitu seterusnya.

Sebulan pun telah berlalu, ia ingat kata kakeknya. Ia pun mencari cara untuk keluar dari rumah. Ia keluar kamar dari jendela kamarnya dan segera menutupnya kembali. Karena ayahnya tidak ada dirumah, jadi ia lebih mudah untuk keluar.

Ia pun pergi ke rumah kakeknya lagi. Ia pun sampai dirumah kakeknya. Namun, rumah kakeknya tidak orang sama sekali. Ia mencoba untuk mengetuk pintu, tapi tetap tidak ada suara. Ia teringat lagi dengan perkataan ayahnya. Tapi ia tetap mencoba berpikir positif. Ia pun pulang ke rumah dengan rasa sedih.

 Tetapi, pada saat ia sampai kerumahnya, ia melihat ayahnya diantar oleh temannya dan sedang dalam keadaan kurang sadar. Ia tidak tau apa yang ayahnya laukuan, tapi dalam keadaan ayahnya seperti itu, ia mendapat kesempatan untuk masuk. Ia membiarkan ayahnya masuk kerumah terlebih dahulu, barulah dia masuk dan segera pergi kekamarnya. Ia bersyukur karena ayahnya tidak mengetahui bahwa dia tadi pergi kerumah kakeknya.

Pagi harinya, Rehan terbangun karena ayahnya meneriakinya. Ia tidak tau mengapa ayahnya memanggilnya. Tanpa berpikir apa-apa, Rehan langsung pergi kepada ayahnya.

“kenapa, yah?”

“kamu kemarin dari mana?”

Rehan bingung , kenapa ayahnya tau tentang itu.

“Ti.. tidak yah,  ayahkan mengunci Rehan dirumah “

“kamu bohong sama ayah. Tadi teman ayah menelpon, dia bilang pada saat ayah masuk, kamu mengikuti ayah masuk. Seolah kamu menghindar agar ayah tidak melihatmu. Kamu kemarin pergi kemana?”

“Rehan kemarin pergi kerumah kakek, yah”

“ya ampun, ayahkan sudah bilang sama kamu, jangan pergi kesana lagi!”

‘ma…maaf yah”

            Karena ayahnya sudah mengetahuinya lagi, kini ayahnya sudah sering menyiksanya. Setiap ayahnya pulang , Reha selalu melihat keadaan ayahnyya dalam keadaan mabuk. Dari sejak itu juga ayahnya mulai mudah marah. Walaupun Rehan hanya tidak sengaja menjatuhkan gelas, ayahnya langsung marah dan memukulinya, kini masa kecil Rehan ia lalui dengan siksaan.

            Siksaan demi siksaan ia jalani, hingga pada saat ia remaja. Kini ayahnya sudah terlihat seperti kakek-kakek. Dan ayahnya pun meninggal karena terlalu banyak meminum alcohol. Kini Rehan sudah bebas. Tetapi, ia tidak menahan emosinya. Setiap ada orang yang ia benci, ia akan langsung membunuhnya.

            Suatau hari di kampusnya, ia bertemu dengan teman perempuannya yang sudah lama ia suka. Rehan pun menyatakan isi hatinya kepada perempuan itu, tapi ia ditolak. Teman perempuannya itu lebih memilih pria lain yang lebih kaya darinya. Ia merasa patah hati, karena marah ia pun merencanakan pembunuhan untuk perempuan dan pria itu.

Sepulangnya dari kampus, Rehan mulai membuat rencana. Ia mengambil kesempatan saat perempuan itu sendiri. Tapi rencananya gagal, karen aperempuan itu pulang dengan pria yang ia suka. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengikuti mereka. Tak lama kemudian, mobil yang dinaiki mereka berhenti. Perempuan itu pun turun sambil melambaikan tangan kepada pria yang didalam itu. Rehan pun tidak melewatkan kesempatan itu, belum juga perempuan itu membuka pintu Rehan langsung menutup hidung dan mulut perempuan itu hingga ia pingsan. Rehan segera membawa perempuan itu masuk ke mobilnya.

            Ia membawa perempuan itu kerumahnya. Rehan menyembunyikan perempuan itu di gudang belakang rumahnya. Perempuan itu pun tersadar dalam keadaan sedang terikat di kursi.

            “mengapa kamu melakukan ini?”

            “kamu sendiri yang memancingku untuk melakukan ini”

            Setelah itu , Rehan pun segera menutup pintu denga keras. Keesokkan paginya dikampus, Reha bingung dengan keadaan kampus yang begitu ramai. Emangnya ada apa sih?

            “ ini kenapa ramai begini, tanya Rehan kepada teman disampingnya”

            “ itu lho orang tuanya Indri datang, katanya dari kemarin dia gak pulang-pulang, jadi orang tuanya datang buat lapor”

            “terus kenapa tuh cowok ada disitu, dia kan gak sekelas sama kita?”

            “ohh kata teman-temanya si Indri terakhir dia pulang bareng tuh cowok, jadi dia yang tersangkanya, yaah begitulah”

Ditengah itu, terdengar suara dari ibu si Indri.

            “pokoknya dia harus dimasukin kepenjara, dia pasti udah bunuh anakku, kata ibunya sambil menunjuk kea rah cowok itu”

            “bukan saya pelakunya, saya gaj tau apa-apa tentang itu”

            “kamu bohong, buktinya anak saya hilang entah kemana, dan terakhir anak saya barengan sama kamu”

“sudah-sudah, kalau kamu tidak mau mengaku, bapak akan melaporkanmu ke polisi” kata pak guru

“bu…bukan saya pak, saya tidak melakukan itu.”

“Bapak sudah tidak bisa membelamu, kamu bilang saja semua itu di pengadilan nanti”

Tak lama kemudian, pak polisi sudah datang dan segera menangkap cowok itu. Rehan yang melihat itu pun  senang, karena ia tidak perlu membunuh pria itu.

Rehan pun pulang dengan senangdan menghampiri si Indri yang sudah duduk kelelahan.

“ini, aku bawakan kamu makanan, kamu pasti sangat kelaparan. Oh iya, kamu tau kan pria yang lebih kamu pilih itu dari pada kau, dia masuk ke penjara. Aku sangat senang, karena itu aku sangat baik hati sama kamu.”

“gak mungkin dia masuk penjara”

“kamu masih gak percaya, tidak apa”

“kamu pasti sudah merencanakannya kan?”

“ tidak sama sekali, karena yang melakukan itu adalah ibumu, yaa ibumu. Saking ia terlalu sayang sama kamu jadi ia sudah tidak terlalu berpikir, makanya ibumu langsung saja memasukkan pacar kamu itu ke penjara”

“gak mungkin ibuku”

“sudahlah, aku sudah Lelah, aku ingin itudr”

“oh iya, kamu pasti sangat kesepian, karena kamu gak punya teman kan. Tenangsaja kau akan segera mencari sasaran selanjutnya”

“kenapa kamu sangata kejam begini”

“aku kan mau cari teman untukmu, supaya kamu gak sendirian lagi” Rehan pun segara keluar.

            Rehan mulai mencari gadis untuk dijadikan korban. Rehan mencari korbannya ditempat yang sangat sepi. Ia akan mengambil kesempatan saat gadis yang menjadi korbannya pergi ke tempat sepi dan jalan sendirian.

            Suatu hari, pada saat ia pulang dari kampus. Ia mulai mencari sasarannya. Karena hari itu sudah malam, jadi kemungkinan Lorong-lorong sangat sepi. Rehan pun mendapat sasarannya dilorong itu. ia segera membawa gadis itu. sesampainya ia digudang itu, ia segera menyapa indri.

            “aku membawa teman untukmu, aku akan mencari lebih banyak lagi. Oh iya, kamu lapar ya, nanti ya, aku bawakan makanan, sekalian sama teman barumu.” Rehan pun keluar.

            Semakin hari, semakin banyak gadis yang jadi korbannya, beritanya pun sudah mulai di edarkan di tv. Ada seorang wanita polisi yang melihat berita itu. ia pun segera memberi tahu kepada teman polisinya.

            “saya tadi melihat berita tentang kasus hilangnya gadis di malam hari, bagaimana jika kita menjebak pelaku itu” kata wanita itu dengan teman-temannya.

            “ia, saya juga tadi lihat. Tapi, kamu yakin mau melakukan itu, itu kan bahaya” kata temannya.

            “iya, yakin”

            “baiklah, jika kamu mau, kita buat dulu rencananya” kata teman satunya. Mereka pun berdiskusi tentang itu.

            Keesokkan malamnya, wanita itu beserta teman polisinya langsung menjalankan rencana mereka. Wanita itu berjalan didepan Rehan. Rehan tidak tau bahwa itu adalah jebakan. Rehan pun segera menangkap wanita itu. wanita itupun berpura-pura meminta tolong. Rehan langsung melepaskan wanita itu dan langsung terdiam. Polisi pun langsung menangkap Rehan yang sedang terdiam itu. Dalam hati perempuan itu bertanya-tanya, ia sangat bingung. Wanita itu pun langsung ikut dengan temannya ke kantor polisi. Sesampainya dikantor, wanita itu diberika izin untuk bertanya kepada Rehan.

            “mengapa kamu tadi tidak langsung membawa saya, apa ada anggota dari polisi yang kamu liohat, atau apa?, tolong jelaskan kepada saya alasannya”

            “waktu kecil dulu, aku sering berharap akan ada keajaiban yang terjadi padaku. Dan itu sekarang telah terjadi”

            “A…apa maksudmu, saya tidak mengerti”

            “Anda adalah ibuku, yang waktu kecil dulu meninggalkanku. Aku masih ada harapan untuk bertemu dengan ibu. Tapi pada saat aku pergi ke rumah kakek, kakek bilang kalau ibu tidak ada, lalu aku datang lagi kedua kalinya, dan ternyata dirumah itu sudah tidak ada orang lagi. Mulai dari hari itu, aku mulai membenci ibu. Ibu bahkan tidak ada kesempatan untuk menjengukku. Aku sangat tersiksa. Ayah selalu menekanku, ayah selalu menyiksaku.”

            “maafkan ibu nak”

            “kenapa hari itu ibu meninggalkanku bu, kenapa?”

            “ibu mau cerita sama kamu, sebenarnya kamu itu bukan anak kandung ibu.”

            “tidak mungkin”

            “waktu kecil dulu, kamu mendengar pembicaraan ibu dan ayah. Kamu pun lari dan berniat untuk keluar dari rumah dan mau mencari orang tua kandung kamu. Ibu dan ayah pun segera mengikuti kamu. Pada saat itu kamu kecelakaan dan mengalami amnesia. Ayah dan ibu merasa cemas dengan keadaan kamu. Kami juga merasa lega karena kamu Kembali lagi dengan kami. Ibu meninggalkanmu karena ayah kamu mengamncam ibu. Jika ibu membawa kamu, ayah akan membawa orang tua kandung kamu ke kamu dan memberitahukan semuanya. Ibupun langsung pergi, pada saat pertama kamu pergi ke rumah kakek, ayah kamu mengetahuinya dan memberikan ancaman lagi kepada kakek, kakek pun memberitahu kepada ibu. Kakek pun menjual rumah itu dan tinggal bersama ibu. Ibupun Kembali ke sini lagi untuk menjalankan tugas. Tapi ternyata ibu yang menjebak kamu” tangis ibunya pun pecah saat itu.

            Rehan terdiam ia bingung dengan keadaannya sekarang. Ia pun langsung dimasukkan ke penjara. Semua gadis yang ia sembunyikan segera dibebaskan. Pacarnya Indri pun dikeluarkan karena pelaku aslinya sudah ditangkap. Kini Rehan harus menghabiskan hidupnya di penjara.

***

Cerpen - Sepotong Roti

 Sepotong Roti

Rumah itu tak pernah benar-benar sepi, meski hanya dihuni dua orang: Ibu dan Damar. Suara radio tua yang memutar lagu-lagu lawas selalu menemani pagi mereka. Tapi tidak dengan suara tawa. Sudah lama suara tawa hilang dari rumah itu—terkikis bentakan, amarah, dan diam yang menyesakkan.

Damar berubah sejak ayahnya meninggal lima tahun lalu. Ia duduk di kelas dua SMP saat itu. Sejak hari pemakaman, matanya tak pernah lagi menatap ibunya dengan hangat. Ia mulai sering membangkang, pulang larut, berkawan dengan anak-anak jalanan, dan diam-diam mulai mencoba rokok yang dulu hanya ia lihat diselipkan di bibir para sopir angkot.

Ibu tak pernah memukul. Tak pernah mengutuk. Hanya menasihati dan menunggu, seperti langit menanti hujan yang tak kunjung datang.

“Dam, jangan pulang malam. Ibu khawatir,” ucapnya suatu malam, lembut.

“Kalau Ibu khawatir, ya sudah, tidur aja! Saya bisa jaga diri!” Damar menepis tangan ibunya yang menyentuh lengannya. Sorot matanya dingin.

Malam itu ia pulang pukul dua pagi. Ibu tak tidur. Duduk di ruang tengah dengan mata merah karena menangis dan menunggu.

“Apa sih, Bu? Saya bukan anak kecil!”

“Bukan. Tapi kamu juga belum cukup besar untuk menyakiti Ibu setiap hari.”

Damar tak menjawab. Ia masuk kamar dan membanting pintu.


Hari demi hari, hubungan mereka semakin renggang. Setiap kali Ibu mencoba bicara, Damar menanggapinya dengan acuh atau kemarahan. Ibu tetap menyiapkan makan, tetap mencuci bajunya, tetap menyelipkan uang jajan—meski Damar jarang mengucap terima kasih.

Suatu pagi, saat Ibu melihat puntung rokok di bawah kasur Damar, ia memberanikan diri bicara.

“Dam, kamu mulai merokok?”

“Jangan ikut campur, Bu.”

“Ibu cuma ingin kamu sehat. Rokok itu–”

“Ah sudahlah! Ibu pikir Ibu siapa? Saya bisa urus diri saya. Jangan seolah-olah Ibu tahu semua tentang saya!”

Wajah Ibu menegang, tapi hanya mengangguk kecil.

Dan sejak itu, Ibu jarang bicara. Ia lebih banyak diam, menyimpan sedih dalam doa. Tapi sesekali, suara batuknya terdengar dari dapur, makin lama makin sering. Damar tidak peduli. Ia pikir itu hanya flu atau capek biasa.


Suatu malam, Ibu mengetuk pintu kamar Damar.

“Dam... Ibu ke dokter hari ini. Katanya—”

“Sekarang Ibu malah drama? Mau cari perhatian karena saya jarang di rumah, gitu?”

Ibu terdiam. Tidak masuk ke kamar. Hanya berdiri beberapa saat, lalu melangkah pergi pelan-pelan.


Keesokan harinya, Ibu tetap menyiapkan sarapan. Sepotong roti tawar dan teh hangat. Tapi Damar tak menyentuhnya. Ia sibuk dengan ponselnya, lalu pergi tanpa pamit. Wajah Ibu hanya mengikuti dari balik tirai jendela, lelah dan redup.

Hari itu Damar pulang malam. Sangat malam. Rumah gelap. Lampu depan tidak menyala.

“Ibu?” panggilnya.

Tak ada sahutan.

Ia menyalakan lampu ruang tengah. Dingin.

Dapur kosong.

Lalu ia masuk ke kamar Ibu. Tubuh itu terbaring diam. Mata tertutup. Tangannya menggenggam roti tawar yang tak sempat dimakan.

Dan Damar tahu, kali ini keheningan bukan bentuk kemarahan. Tapi kepergian.


Di pemakaman, ia tak menangis. Badannya terasa ringan, tapi kepalanya berat. Orang-orang berbicara pelan. Seseorang menepuk bahunya. Tapi semua terasa jauh.

Malamnya, ia masuk ke kamar Ibu. Duduk lama di tepi ranjang. Di meja kecil, ada amplop. Bertuliskan: “Untuk Damar.”

Nak, kalau kamu membaca ini, mungkin Ibu sudah tidak ada.
Ibu tak pernah ingin pergi dengan membawa luka dari kamu. Tapi Ibu tahu, kamu masih belajar mengenal dunia.
Ibu bukan ingin mengatur hidupmu. Ibu hanya ingin kamu bahagia dan tidak terjerumus ke jalan yang membuatmu sakit, membuatmu menyesal.

Ibu tidak marah, meskipun kamu sering melukai hati Ibu.
Ibu hanya takut... kamu tak sempat memaafkan dirimu sendiri.

Jika kamu belum sempat berkata maaf, Ibu sudah lebih dulu memaafkan.
Karena mencintaimu adalah satu hal yang tak pernah Ibu sesali.

Ibu.

Tangis Damar pecah malam itu. Bukan hanya karena kehilangan, tapi karena setiap kenangan yang terlintas adalah luka yang ia toreh sendiri. Ia menyakiti satu-satunya orang yang tetap mencintainya, bahkan saat ia tak pantas dicintai.

Ia memeluk bantal ibu erat-erat, seakan berharap bisa menyentuh sisa hangat tubuh itu. Tapi yang tersisa hanya sunyi.

Dan roti tawar yang masih utuh di meja.

Minggu, 21 November 2021

Proses Fotosintesis



Ingin mempelajari proses fotosintesis dengan mudah? Gampang kok. Silahkan klik saja link ini https://vlab.belajar.kemdikbud.go.id/LabMaya/Play/1aad2fda-11ca-462a-af45-4f0d459cd4e3


#rumahbelajar

#SRB2021

#pembaTIK

Kamis, 11 November 2021

Sosialisasi Pemanfaatan Portal Rumah Belajar



10 November 2020. Tanggung jawab untuk berbagi terus dilakukan oleh penulis selaku salah satu Sahabat Rumah Belajar Gorontalo Tahun 2021. Berbagi kali ini dilakukan secara tatap muka. Lokasi yang dipilih adalah SMP Negeri 5 Gorontalo. Penulis ingin berbagi mengenai pemanfaatan portal rumah belajar. Kegiatan dimulai pada pukul 10.00 WITA dengan diikuti hampir seluruh guru dan staf.

Pada kegiatan ini, peserta langsung praktik dan dibimbing untuk membuat akun pada kelas maya. Peserta begitu antusias mendengarkan instruksi pemateri. Setelah mereka berhasil membuat akun, pemateri kemudian mengajar peserta mengenal fitur lain dalam rumah belajar. Fitur yang dikenalkan adalah laboratorium maya, edu game, sumber belajar, dan modul digital. Tak ketinggalan juga pada akhir kegiatan pemateri menyelipkan informasi mengenai PembaTIK.